"Ibu...hallo ibu. Ibu bisa dengar suara saya tidak?" suara mbak di ujung telpon terdengar tinggi dan membentak.
“Mbak, jangan bentak-bentak donk!” teriak saya ketus di telepon.
Teman kantor saya melirik dengan mimik bertanya. Ada apa?
Saya manyun. Saat itu saya sedang online dengan petugas bank yang akan memverifikasi data pengajuan kartu kredit. Setelah sebelumnya ada petugas verifikasi datang langsung ke kantor.
Usai menaikkan intonasi suara, mood langsung hilang, wajah masam tak bisa dihindari. Kemarahan saya sampai di ubun-ubun. Ndelalah, sudah ada pemicu yang bikin kesel sejak hari sebelumnya. Pagi-pagi sudah hectic dengan beberapa printilan yang menguji kesabaran. Perpaduan yang sungguh komplit. Mendengar nada tinggi dari si petugas bank tersebut, saya langsung naik pitam. Entah kenapa saya nggak bisa menahan emosi yang bergejolak. Padahal malamnya saya mengobrol panjang lebar soal sabar. Ternyata saya merasakan sendiri tentang arti belajar sabar yang diceritakan seseorang.
Seumur-umur baru kali ini dibentak petugas sebuah bank ternama (sebut saja bank A). Kalau dijutekin customer service atau teller saat ke bank mah beberapa kali. Hihihi. Ceritanya saya lagi bikin kartu kredit di bank A. Bank tersebut memang bekerja sama dengan kantor untuk urusan payroll. Beberapa hari lalu ada penawaran khusus kartu kredit bagi kantor saya. Kok ndelalah saya tergoda. Iming-iming beberapa fasilitas, terutama bebas iuran selama jadi pegawai bikin hati klepek-klepek. Cowok ganteng mah lewat *dadah-dadah* Padahal saya juga nggak tahu mau digunakan untuk apa itu kartu kredit. Mungkin bisa buat nambah pajangan di dompet daripada majang poto orang :p
Saya masih terheran-heran mengapa si mbak bisa bernada tinggi dan membentak. Padahal permasalahan cukup sepele menurut saya. Suara tak terdengar alias putus-putus. Saat suara dia hilang otomatis saya tak mendengar apapun yang dikatakan. Sudah berhalo-halo berkali-kali lalu mati. Ditelpon lagi dan mati lagi. Entah handphone atau sinyal yang sedang tak bersahabat. Hingga berujung menyulut emosi. Sudah terlanjur emosi saya jutek dan bete menanggapi semua pertanyaannya. Terdengar jelas bahwa dia juga tak kalah bete.
![]() |
Gambar diambil dari sini |
Saya masih terheran-heran mengapa si mbak bisa bernada tinggi dan membentak. Padahal permasalahan cukup sepele menurut saya. Suara tak terdengar alias putus-putus. Saat suara dia hilang otomatis saya tak mendengar apapun yang dikatakan. Sudah berhalo-halo berkali-kali lalu mati. Ditelpon lagi dan mati lagi. Entah handphone atau sinyal yang sedang tak bersahabat. Hingga berujung menyulut emosi. Sudah terlanjur emosi saya jutek dan bete menanggapi semua pertanyaannya. Terdengar jelas bahwa dia juga tak kalah bete.
“Ini benar kan dengan Ibu Lestari?”
Glodakk! Padahal pertanyaan sudah separuh jalan.
“Maksudnya?”
“Ini benar dengan Ibu Lestari?
Dia mengulang pertanyaan yang sama.
“Iya, saya sendiri. Saya Lestari. Kenapaaaaaaa?”
Emosi saya memuncak lagi. Mood makin berantakan. Meja saya yang sedang berantakan menambah suasana semakin drama. Fyuuuhh....sudah lama rasanya saya tak seemosi ini. Padahal memang saya berusaha menghindari hal-hal yang memicu emosi. Bahaya untuk kesehatan jiwa saya.
Edisi telpon putus nyambung terjadi sampai empat kali. Saya kebayang sih gimana keselnya dia. Mungkin dia ditarget untuk menyelesaikan tugas. Tetapi ngepasi hari jumat, kepikiran mudik, mau ketemu pacar atau bete abis diputusin. Lalu, apakah pantas dia membentak? Hey, dia berbicara dengan pelanggan. Seemosi apapun, sebisa mungkin ditahan. Walau pengalaman saya usai itu bakal ada korban yang dengerin omelan panjang lebar kali tinggi. Dulu saya pernah menarik nafas panjang di depan pelanggan saking keselnya. Saat sadar langsung senyum lebar lima meter. Nyesel nggak ketulungan. Hingga berjanji nggak akan mengulangi lagi. Eh, ini malah membentak seolah buta etika bertelepon.
Tetiba saya nyesel kemarin ikutan iseng daftar kartu kredit. Entah kenapa si mbak masih aja nyari gara-gara. Sebuah pertanyaan yang seharusnya tak patut ditanyakan menurut saya meluncur begitu saja.
“Ibu, apa mungkin handphonenya rusak?”
Gyaaaa....! Enggak tahu apa kalau ini handphone baru lunas cicilannya? Enggak tahu juga apa kalau ini handphone pernah mengalami opname padahal baru buka segel 2 hari? Aaarrgghhhh...
“Enggaaaakk, Mbak! Hape saya baik-baik saja tuh!”
Padahal saat telpon kedua sudah saya tawarkan untuk menelpon di nomor satunya loh. Si mbak nggak mau. Ngotot nomer yang saya cantumkan di data sejak awal. Yasudah, emosi kan, Mbak?
Verifikasi data berjalan cukup lama karena drama putus nyambung. Udah ngalah-ngalahin drama korea lima episode. Saat sampai rumah saya baru sadar kalau si mbak nggak mengucapkan greeting dan terima kasih di akhir percakapan. Padahal setau saya itu wajib. Saking keselnya kali ya? Justru saya yang menutup dengan...
“Mbak, kalau ngomong itu nggak usah bentak-bentak tahu!”
Klik! Telpon ditutup.
Usai prahara saya langsung uji coba handphone yang baru lunas cicilannya. Bersama teman kantor saya melakukan drama kolokan. Dia akting sebagai penerima telepon dengan handphone saya. Saya akting sebagai penelepon. Pertama uji coba dengan nomor saya yang lain. Kedua dengan nomor kantor. Hasilnya...
Suara jernih dan jelas. Tanpa drama korea lima episode.
Terus kenapa harus ada drama diantara saya dan si mbak? Ah, mungkin dia butuh piknik!
Salam,
@tarie_tarr
Aq nek telpon ba k jg lari2 kesNa kemari mb. Kyknya sinyal di bank emg jelek, klo antri dlm bank jg hpq susah konek inet. Tau yg gt aq aja apa mmg di bank ada aplikasi buay nolak2in sinyal hewhewhew
BalasHapusHehehe iyaa aku sampe geregetan, eh tepatnya emosi jiwa raga. Tumben bisa semarah itu :D
HapusHahaha...mb Taro bisa esmosi jugak to?? ... mungkin dia butuh piknik ya mba...;))
BalasHapusBisa donk, Mbak. Namanya juga manusia. Ada batas wajar :D
HapusHo-oh, Tar, Mbake butuh piknik bekne... Wes suwe cutine gak tahu di-acc boss.. ira
BalasHapusNah, bener iki jarene mba Ira. Suwe gak diacc jadi hawane pengen nelen orang :D
HapusAjak mbaknya piknik bareng ae :D
BalasHapusSesekali perlu diajakin deh. Yukkk
HapusSabar. Sabar .... kamu yang salah Tar, harusnya jangan dibentak. Ajakin piknik biar Jernih.hehehe
BalasHapusMungkin dia grogi mau ngobrol sama Mbak Tar... heheu. :D
BalasHapusiya, kalau kesal pada marketing yang pemaksa gitu, dakuw jadi teringat kalau dakuw juga marketing hihi dan berdoa semoga nggak menyebalkan seperti ituh..semangat taroo, rileeks, tarik napas, kentutkaan hihihi
BalasHapusAku juga sebeeeelll sama marketing credit card bank yg warnanya merah ntuh.
BalasHapusSENIN PAGI dong, doi tilpan.tilpun muluuu Grhrhrhrhhr
Ya udah diajakin piknik aja si mbak, biar enggak ngebentak calon nasabah. Itu bisa dapat peringatan loh dia :)
BalasHapusTari iso nesu to tibake. Haha
BalasHapusGanti hape baru dong biar suaranya kedengeran, beli di Harbolnas, eh sudah habis ya hahahaa
BalasHapus