“Siapa yang akan masuk ke kelas
kita?” Sayup-sayup kudengar suara cadel berbicara
pada fasilitatorku.
Ini jam terakhirku sok berperan
menjadi guru sehari di Kelas Inspirasi Yogyakarta #3. Rekan pengajar sebelumnya
bilang kelas 1 sangat luar biasa alias sulit dikendalikan. Terutama untuk anak
cowok. Aktifnya luar biasa. Terbukti saat upacara, semuanya riuh rendah. Entah antara cari perhatian pada kami, sepuluh orang asing yang berjejer rapi di depan mereka. Atau memang
mereka aktif. Tapi enggak boleh menyerah donk ya. Sudah jauh-jauh hari persiapan
dan datang dari jauh masak mundur? No! Maju terus! Nggak boleh kalah sama kelas
1!
“Tenang, tenang, tenang. Setidaknya udah ada pengalaman pegang kelas 1,” batinku
menghibur diri. Walau kalau boleh jujur, aku ndredeg luar biasa. Aku mengajar
di kota yang berbeda, sudah pasti
mereka punya segala keunikan tersendiri. Enggak bisa disamakan dengan anak-anakku di KI Semarang 1. Aku sudah siap dengan segala kejutan yang akan datang tiba-tiba.
“Ibu itu yang akan masuk ke kelas kalian,” ujar fasilitator menunjuk
ke arahku. Otomatis anak-anak yang
tadinya riuh rendah di depan pintu menoleh. Senyum mereka mengembang. Baru sampai tengah lapangan kaki ini melangkah,
tubuh-tubuh kecil itu berlari menyongsongku. Kurentangkan
kedua tangan dan berjongkok menyambut mereka. Kami berpelukan seolah bertemu
sahabat lama. Entah perasaan apa yang perlahan merayapi hati. Selalu begini ketika menjumpai wajah-wajah mungil
yang antusias. Rasanya pelukan ini tak pernah ingin lepas.
“Ibu, aku bantu bawa tasnya!” salah seorang anak merebut tas selempangku.
“Aku mau bawa yang ini!” yang lain nggak mau kalah.
“Aku juga mau bantuin bawa!”
“Boleh bantuin bawa tapi nggak boleh rebutan,” seruku menengahi.
Mereka mengangguk. Tapi dasar anak-anak masih aja rebutan. Haha.
“Tas ibu berat. Dibawa berdua aja, ya?” ujarku melanjutkan. Nggak tega rasanya tangan mungil itu
menenteng tas yang persis karung semen. Wong pundakku aja bilang berat, apalagi mereka? Ini mau
ngajar apa pindahan sih :p
Satu per satu barang bawaanku berpindah di tangan mungil mereka. Semua
berjalan mendahuluiku. Kuamati punggung-punggung kecil itu. “Tuhan, andai bisa aku ingin membersamai mereka setiap
waktu,” batinku.
“Ibu, kenapa lama jalannya? Ayo kita masuk kelas!
Teman-teman sudah menunggu loh,”
teriak seorang anak nggak sabar.
Aku tersenyum. Kulangkahkan kaki lebih cepat. Ingin segera bertemu
matahari kecilku. Lebih tepatnya penasaran dengan cerita pengalaman pengajar sebelumnya. Apapun itu, jelas kelas ini
telah membuatku jatuh cinta pada pandangan pertama. Sambutan mereka sungguh di
luar perkiraanku. Terima kasih, Anakku!
Feelingku nggak salah. Jika dulu temanku bilang bahwa kelas 1 itu momok benar adanya. Tingkah polah yang
mereka tunjukkan saat upacara nggak jauh beda saat di kelas. Lalu jika
di Kelas Inspirasi Semarang #1 aku sukses menghendel kelas 1, di sini boleh dibilang
setengah gagal. Haha. Dan yang
terakhir, aku ingin sungkem pada guru kelas 1. Pengen menimba ilmu bagaimana
cara menghendel anak-anak yang luar biasa aktif. Sungguh butuh kesabaran ekstra mengatasi bocah-bocah berwajah polos ini. Jadi kebayang
sendiri jika kelakuanku jaman dulu juga kayak mereka :D
Seperti pengalaman sebelumnya, aku
nggak menargetkan berhasil menyampaikan apa profesiku. Tapi masih ada sedikit
harapan ketika boneka tangan dan boneka jari menemaniku. Setidaknya aku
mengeluarkan mereka saat alat peragaku susah diteima. Ya, aku memang bergantung
banyak pada boneka ini. Juga pada gambar-gambar sederhana tentang penjelasan
profesiku.
Berhasil?
Bolehlah dibilang gado-gado alias
setengah berhasil dan setengahnya lagi gagal! Yep! Akhirnya aku menjumpai apa
yang disebut momok bagi sebagian
relawan. Saat aku memperkenalkan diri, sebagian menyimak, sebagian lagi main
kejar-kejaran. Baru menulis nama, beberapa anak ikut heboh menuliskan nama
mereka. Kuajak mereka menyanyi, sebagian ikut dan yang lain asik menggambar di
meja. Sebagian besar anak cowok malah berlarian, klotekan, naik turun meja,
lempar-lemparan kertas dan jejeritan!
“Apa ibu guru amatirmu ini cara mengajarnya nggak menarik, Nak?” ratapku
dalam hati.
Kutarik napas dan kuhembuskan pelan-pelan.
Meresapi tips abal-abal ala guru amatir bahwa akulah yang harusnya memahami
mereka. Bukan mereka yang harus nurut manut denganku. Mereka bukan robot! Oke,
kuubah strategi!
“Anak-anak, sekarang kita lesehan
yuk! Ibu mau cerita. Ada yang tahu profesi ibu sebagai apa?” tanyaku sambil
mengeluarkan kumpulan gambar penjelasan profesiku.
“Enggak tahu, Bu!” mereka menjawab
antusias sambil geleng-geleng.
Aku nyengir. Kali ini aku memang
melepas seragam kebanggaan selama mburuh.
Hanya menggunakan stelan sederhana rok batik dan kemeja.
“Nah, sekarang kita amati gambar
ini. Di rumah kalian siapa yang biasa melakukan pekerjaan ini?” tanyaku sambil
menunjukkan gambar ibu rumah tangga.
“Ibuuuuuuuuuuuuuuuuu.....!”
“Kalian cerdas!”
Pelan tapi pasti aku mulai bisa
menjelaskan apa profesiku pada mereka. Sungguh aku sangat berterima kasih pada
rekan kantorku. Merekalah yang memberi ide-ide ciamik ditengah rasa stress dan deg-degan menyiapkan ubo rampe. Hingga akhirnya aku bisa
menjelaskan apa profesiku dengan gamblang.
Kalau ini sesi pengenalan profesi :D *cieh |
Berhubung kelas semakin tak
terkendali dan ideku tambah cupet kala melihat kegaduhan, keluarlah senjata
terakhir. Boneka tangan! Yak, mendongeng lagi kita, Nak!
“Ada yang mau didongengin nggak?”
seruku lantang mencari perhatian.
“Mauuuuuuuuuuu....!!!” Suara
lantang mereka mengalahkan suaraku.
“Sekarang kalian duduk tenang. Ibu nggak
mau cerita kalau kalian masih gojek sendiri,” aku mengeluarkan kartu As. Oke,
mungkin ini nggak bagus tapi sungguh cuma trik ini yang mempan. Walau hanya
bertahan 5 menit! Sesuai tips dari Kang Iwok, dongengku ini masih tentang
profesi. Enggak pernah ada di buku dongeng manapun. Karena dongeng ini resmi
karangan ibu guru amatir.
“Bu, aku pinjam bonekanya, ya!”
“Aku mau yang pake jilbab!”
“Aku yang satunya aja!”
Bubar konsentrasi! Kedua boneka
tangan ditowal towel. Hari semakin siang, energiku benar-benar terkuras di
kelas ini. Baru kali ini 30 menit begitu terasa lama. Kuserahkan kedua boneka
tangan dengan syarat mereka harus main peran. Boleh bercerita apa saja asal
mereka memasukkan peran ibu di dalamnya. Ya, aku mengenalkan profesiku sebagai
seorang ibu di sebuah perusahaan. Prakteknya metode ini lebih sukses loh. Bermain
analogi sederhana menggunakan hal-hal yang dekat dengan keseharian mereka.
Sebagian sukses bermain peran tapi
sebagian lagi malah asik naik turun meja dan klotekan. Ada yang duduk anteng menggambar, keluar masuk kelas, nulis
di papan tulis, main petak umpet.
“Aku mau duduk di deket, Ibu,” ujar
seorang anak cewek mendekatiku.
Aku mengangguk.
“Aku juga!” seorang lagi
mendekatiku.
“Iya, sini duduk deket ibu semua,
ya,” kembali kutengahi sebelum terjadi perang dunia.
Kubiarkan kelas yang sudah tak
terkendali. Toh sebentar lagi jam mengajar berakhir. Kuamati tingkah mereka. Lucu.
Menggemaskan. Wajah polos itu memang selalu bikin hati mencelos. Pikiranku menerawang
jauh. Tentang masa depan mereka. Tentang sebuah cita-cita yang mulai terajut. Juga
segenap harapan untuk mimpi yang akan terwujud. Semudah itukah?
“Bu, kapan ke sini lagi?” tiba-tiba
seorang anak memelukku dari belakang.
“Lha ini ibu masih di sini kok. Kenapa?”
jawabku kaget. Selama mengikuti KI, baru kali ini terdengar kalimat itu.
“Ibu jangan pulang, ya!”
“Ibu harus pulang, Nak. Emangnya kapan
ibu harus ke sini lagi?” tanyaku penasaran.
“Besok!”
“Kenapa?”
“Biar kita bisa main-main lagi”
“Doakan ibu bisa berjumpa dengan
kalian lagi, Nak,”sahutku berbisik.
Hatiku menghangat. Mataku terasa
buram. Ingin menangis tapi malu. Enggak nangis tapi merembes mili. Kupeluk mereka
erat. Walau kelas ini sulit terkendali, tapi aku menemukan hal lain yang lebih
indah. Kejutan kecil seperti inilah yang selalu membuatku gagal move on. Pelukan mereka akan aku
rindukan saat kembali ke perantauan. Pancaran penuh harap dan ingin tahu dari
mata bening itu selalu membuat hatiku luluh. Senyum tulus dari wajah polos kian
membuatku jatuh cinta. Mereka membuatku gemas tapi hati meleleh dengan dua kejutan tak terduga.
“Ibu pasti akan merindukan kalian,
Nak”
Tuhan, kutitipkan mereka, tunas-tunas harapan bangsa. Beri mereka
kesempatan layaknya anak-anak lain. Seperti seuntai mimpi yang mereka tuliskan
di pohon cita-cita. bersama doa yang dilantunkan dengan segenap jiwa. Terselip harap
dalam wajah dan tangan yang menegadah.
...karena kelak pada merekalah negeri ini dititipkan...
Note : semua foto kredit dari Mas Momon, fotografer KIY #3
Semarang, 23 April 2015
Semarang, 23 April 2015
Salam,
@tarie_tar
Huhuhuhu... ikut terharu... :'(
BalasHapusKelas Inspirasi emang luar biasa ya, Tar... Harus siap mental kala dapet pertanyaan atau jawaban tak terduga. Pokoknya pengalaman jadi relawan KI merupakan salah satu moment terbaik dalam hidup :)
Betul! Nggak pernah nyesel ikut KI. Yang ada malah ketagihan ikut lain tempat. Selalu ada pengalaman berbeda :)
HapusSaya yang setiap hari bertemu dengan mereka tak pernah merasa bosan mbak. Ada-ada saja yang mereka lakukan. Jengkel? Ya pasti. Tapi itulah mereka. Unik.
BalasHapusIyaaaa. Kagum dan salut buat guru-guru SD dah. Mereka luar biasa :*
HapusSusah ya jadi guru. Tapi ortu sering menuntut guru untuk sempurna padahal yg dihadapin macem2 satu kelas. Semoga kehadiranmu menginspirasi anak2 itu ya. Amiin
BalasHapusMenurutku susah sih, Mbak. Gimana yaa. Hahaha. Enggak kebayang aja tiap hari ngadepin tingkah polah mereka. Ada aja gitu, seolah nggak abis. Iya, terkadang gimana gitu kalau ada ortu nuntut macem-macem :)
HapusHalah, aku mah apa. Cuma sebutiran debu yang nyangkut di KI :D
Keren, ih Taro. Pengalaman luar biasa. Baik bagi guru maupun murid, yaks.. Semoga ilmunya barokah.
BalasHapusAamiin aamiin. Makasih mbakyuuu :*
Hapusaku yo melu mrebesmili mbak...
BalasHapusMari mrembes mili berjamaah, Mbak. Etapi bener sering misek-misek kalau inget mereka :(
HapusTerharu banger :) bangga visa berbagi dp penerus bangsa. Semoga Allah memberkahi at as ilmu yg dibagi. Aamiin
BalasHapusAamiin aamiin aamiin :)
HapusSemoga mbaaakyuuu
aku dirumah juga baru beliin anakku boneka tangan kok mbak :D
BalasHapusasik buat ngedongeng :D
Aku boleh pinjem kagak, Mas? :p
HapusEmang asyikk buat mendongeng siih haha. Aku aja sukak
Saya ingin ikut kegiatan ini. Kegiatan yang mencerahkan. Mana tau anak yang kita ajar nanti jadi salah satu profesi yang diceritakan. Keren, maju terus.
BalasHapusWah ikut KI mana nih? :))
HapusIh seru... Btw mba dee an juga pake boneka tangan sbg oeraga KI. Kalau gak salah hehe
BalasHapusHihihi kayaknya gitu sih, Zahra :)
HapusMbaa tarii aku penasaran sama kelas inspirasinyaa... 😍 😍
BalasHapusAyoookk ikutan yoookk. Ada KI Semarang niiiih :)
Hapusterharuu...taro hebat, ayoo ikuti passionmu taro, jadi guruu :)
BalasHapusHalah hebat apa. Aku mah apa atuh :)
Hapusterharu bacanya juga, tetap semangat ya mba
BalasHapusAamiin aamiin. Makasih :)
HapusTetap semangat ya, jeng wakil koordinator :) siiip
BalasHapusSemangat terus! Doaiiiiiiiiiiiiiiinn
HapusWah ikutan lg ya? keren!
BalasHapusHahaha nagiih je, Mas. Asyik ketemu konco anyaaarr :)
Hapuskalau jadi buguru memang naluri keibuan nya otomatis akan terbentuk :)
BalasHapusBetul sekali, Mbak :)
HapusDari sini kita menjadi tahu bahwa tidak mudah ya menjadi guru SD, tapi sekaligus seru dan menyenangkan :)
BalasHapusBener banget, Pak. Enggak mudah. Keinget masa dulu yang suka iseng sama guru *sungkem
Hapus