Aku
tertegun memandang kantong kerupuk di tangan. Dua kantong kerupuk yang
masing-masing berisi 6 biji dihargai dua ribu rupiah. “Wah, murah banget ya,”
batinku. Sebiji kerupuk yang biasanya dipatok harga 200-500 rupiah, di pasar
itu hanya 166,67 rupiah. Wow. Murah. Melihat sekeliling, aku tertarik untuk
membeli makanan lain. Dan, ternyata memang harganya diluar dugaan semua. Nangka
matang satu gelondong gede hanya enam ribu rupiah. Buah-buahan dipatok mulai
dua ribu rupiah saja. Belum lagi tetek bengek kebutuhan rumah tangga lain.
Dulu,
sempat ragu mendengar cerita temanku. Hampir setiap weekend dia pergi ke pasar
bubrah. Katanya harga barang dan makanan jauh lebih murah dibanding pasar
tradisional apalagi supermarket. Sekarang akupun membuktikannya. Harganya
memang lebih terjangkau
Kudus.
Di sinilah aku menjumpai berbagai macam keunikan. Salah satunya pasar bubrah. Pasar
bubrah merupakan pasar non maden yang berada di sepanjang jalan dimana pabrik
rokok berdiri. Pasar tersebut hanya ada pada jam-jam tertentu. Tergantung dari jam
kerja karyawan pabrik. Bisa pagi buta, siang, atau bahkan sore hari. Karyawan
yang mayoritas adalah ibu rumah tangga menjadi target utama para pedagang. Walaupun
sebagian masyarakat juga senang berbelanja di sini. Alasan utama harga murah,
dapat banyak pula. Tapi ada juga yang beranggapan barang dan makanan di pasar
bubrah kualitasnya tidak bagus. Bisa disebut KW dua mungkin, ya? Tapi kembali
lagi tergantung kemampuan dan kesukaan seseorang donk.
Jangan
dibandingkan dengan pasar tradisional. Pasar bubrah memang bisa disebut pasar
mau bubar. Para pedagang hanya menggelar lapak seadanya. Ada yang berjualan di
mobil terbuka, gelar tikar, berpayung ria, bawa sepeda motor, dan lain
sebagainya. Kebanyakan dari mereka membuat bangunan sederhana yang bisa
dibongkar pasang. Benar-benar sederhana. Hanya kayu penyangga, terpal, dan meja
bambu untuk menggelar dagangan.

Aku
tertegun memandang keriuhan ibu-ibu yang baru keluar dari pabrik. Bergegas
mereka mencari aneka kebutuhan rumah tangga. Seolah takut tidak kebagian jatah.
Mereka yang sering disebut “wong mbathil” kebanyakan memang langsung
membelanjakan uang hasil kerjanya. Miris rasanya, mereka digaji berdasarkan
jumlah pesanan. Bahkan ada yang bekerja hanya
dua jam dengan upah sekitar sepuluh ribu rupiah.
Itulah
salah satu alasan harga barang dan makanan di pasar bubrah jauh lebih murah.
Target pedagang memang hanya para karyawan pabrik. Mereka tidak mungkin
dihargai standar pasar tradisional. Barang dan makanan yang dijual sudah
dibungkus mulai harga 500 rupiah. Ketika karyawan pabrik bubar, tidak perlu
lagi ada tawar menawar harga. Semua sudah terpatok. Ternyata para pedagang
tidak kalah cerdas dengan supermarket. Memberi harga pas, menyingkat waktu ,
dan mengantisipasi terjadinya tawar menawar yang alot.

Keunikan
lain, jika pabrik tersebut sudah selesai jam kerjanya, maka pedagang akan
pindah ke pabrik lain. Tergantung dari jam kerja pabrik tersebut. Bisa sampai
dua kali dalam sehari. Padahal jarak antara pabrik satu dengan lainnya jarang
berdekatan. Kudus yang sebagian besar dikuasai pabrik rokok mempermudah para
pedagang menggelar dagangannya.
Pasar
bubrah ramai diserbu penduduk local sekitar pabrik untuk pagi hari. Selain
barang masih fresh, pilihan juga lebih beragam. Berbeda jika berbelanja di
pasar bubrah siang hari. Barang jauh lebih sedikit, panas, dan pasti kalah
dengan para karyawan. Jadi, lebih baik berburu barang murah meriah pagi hari di
pasar bubrah. Selain dapat barang banyak sesuai keinginan, juga menghemat uang
belanja, bukan?
wah² sep²
BalasHapushiduup bloger mania ... :D